Pagelan Gandrung Banyuwangi
Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan
rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Kesenian ini masih satu genre dengan
seperti Ketuk
Tilu di Jawa
Barat, Tayub di Jawa
Tengah dan Jawa
Timur bagian barat, Lengger di
wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan
melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu
(terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Gandrung merupakan seni
pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan
Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari
gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi
khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang
terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut,
hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung.
Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota
Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut
wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti
perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun
tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan,
pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga
menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
Pertunjukan
Gandrung, tidak bisa dilepaskan dari posisi Tukang Kluncing, biasa disebut juga
“Pengundang”. Pemukul alat musik “triangle” ini, selalu ceria dan jenaka selama
pertunjukan. Namun juga berwibawa dihadapan penonotn, apalagi seluruh awak
keseniannya. Selain hafal semua gending-gending yang dibawakan oleh penari
gandrung, Tukang kluncing juga hafal ketukan-ketukan nada dan irama musik
gandrung. Ia juga sebagai komando, setiap langkah penari gandrung dan
kencederungan irama musik pengiring. Inilah gambaran “Tukang Kluncing” ideal
masa lalu, mungkin sekarang sudah jarang dijumpai dalam setiap pertunjukan
Gandrung. “Ayo ..Tik, garapen edeng-edengan. Sampur dipegang, lempar ke
muka… mulai berangkat……!!!!”
Penampilan Tukang Klucing sangat menonjol, setelah penari Gandrung itu
sendiri. Dialah yang mengucapkan salam pembuka kepada penonton, undangan dan
tuan rumah, saat Kesenian Gandrung yang mereka bawa akan melakukan pertunjukan.
Segala sesuatunya dan aturan main dalam pertunjukan, juga akan diungkapkan Tukang
Kluncing. Termasuk bagaimana tata cara seorang Paju (penari undangan) atau
Ngerpen (membeli gending). Dalam sambutan itulan, tercermin otoritas seorang
Tukang Kluncing terhadap kesenian dan panjak yang mereka pimpin. Tidak ada
seorang pun dalam pertunjukan itu, akan melawan keputusan Tukang Kluncing.
Termasuk para pemanju, atau undangan VIP yang biasa ngrempen.
Seorang Tukang Kluncing adalah pemandu musik, untuk mengiringi
gending-gending yang dinyanyikan gandrung. Alat musik yang mana harus
diperkera, serta bagaiman ketukannya. Selain itu, Tukang Kluncing adalah
pemandu gerak penari Gandrung melalui bahasan verbal. Ia akan mengawarang
penari gandrung dalam mengawali gerakannya, termasuk menggoyangkan pinggulnya.
Tentu, harus memenuhi etika yang berlaku. Tidak vulgar dan seronok, serta masih
berada dalam frame estetikan gerak.
Saat Tukang Kluncing memainkan perannya yang sangat komplek itu, alat
musik Kluncing atau Triangle” tidak pernah lepas dan berhenti, untuk mengiring
bunyi kendang dan kempul yang selalu kompak dalam setiap ketukannya. Kluncing
sendiri, kono merupakan alat musik tertua di dunia. Bahkan dalam kelompok
orkestra juga menggunakan tiangle ini. Namun yang beda mungkin cara
memainkannya, sehingga bunyi yang dihasilkannya pun sedikit berbeda. Alat musik
yang terbuat dari besi batangan kecil, dibentuk segitiga dan pemukulnya juga
menggunakan besik yang sama. Cara memukulnya, dipukul sisi-sisinya dengan
digenggam kadang juga dilepas.
Namun dalam perkembangannya, ternyata posisi Tukang Kluncing mulai
bergeser. Ini juga akibat dominasi “uang” dan “penguasa” dalam pertunjukannya
Gandrung itu sendiri. Jika pada penjajahan Belanda atau sebelumnya, kehadiran
orang asing itu melahirkan kolaborasi dengan masih memperhatikan estikan dan
moralitas, atau kearifan lokal. Namun dalam era orde baru, era kemerdakan RI
dan sesudahnya, justru memprihatinkan. Konon saat orang Eropa pertama melihat
pertunjukan Gadrung masing menggunakan seruling, kemudian memadukan
nada-nadanya dengan biola yang mereka bawa. Setelah terjadi keselaran nada,
maka masuklan alat musik itu hingga sekarang. Penguasa dan Penjajah Belanda
yang pertama melihat pertunjukan Gandrung, juga menyodorkan kaos kaki warna
putih kepada penari Gandrung. Setelah melihat kaki penari Gandrung saat itu, telihat
kotor atau kurang menarik. Maklum kebanyakan penari Gandrung sekaligus anak
petani yang sering turun sawah, selain itu pertunjukan Gandrung tidak di
panggung., melainkan di atas tanah, kemudian dalam perkembangannya diberi alas
tikar.
Dalam perkembangan itu, posisi Tukang Kluncing masih seperti gambaran
ideal. Namun setelah masuknya suku-suku lain menjadi pejabat di Banyuwangi,
mereka inilah yang kemudian sedikit demi sedikit mulai menggeser atau
melemahkan posisi Tukang Kluncing. Mereka dengan seenaknya memperlakukan Penari
Gandrung, baik saat “Ngrempen” maupun “Paju”, tanpa mengiraukan peran Tukang
Kluncing. Para “Penguasa Lokal” ini, berpandangan apriori terhadap Gandrung.
Mereka menyamakan Gandrung seperti kesenian Lengger di kawasan Tapak Kuda Jatim,
atau seperti Tayub yang berkembang di Jawa Timur Mataraman. Konon, mereka
inilah yang membawa minuman keras dalam setiap pertunjukan Gandrung.
Sebetulnya, toleransi kesenian Gandrung terhadap orang-orang dari luar
ini sudah diimbangi, dengan menuruti kemaun mereka menyanyikan gending-gending
Jawa. Misalnya Gending Kutut Manggung yang sangat populer di Jawa, tetapi bisa
diadopsi penari Gandrung dan groupnya. Namun permintaan itu, ternyata
“Ngelamak” kepada hal-hal yang esensi dari Kesenian Gandrung itu sendiri.
Penari Gandrung legendaris asal Kemiren, Mbok Temu, pernah cerita kepada
penulis. Saat masih aktif, sering menolak permintaan yang dianggap sudah
kelewat batas. Meski saat itu yang mementa seorang Komandan Rayon Militer
(Danramil), maka akan ditolaknya. Padahal resikonya sangat berat, mengingat
saat itu rezim militer sangat berkuasa di negeri ini.
Seorang Budayawan Hasan Ali, pernah juga bercerita kepada penulis
tentang seorang Tukang Kluncing “ngambul” dan meninggalkan pementasan yang
sedang berlangsung. Cerita ini tentu perlu disebarkan dan diteladani mereka
yang berporfesi sebagai Tukang Kluncing. Menurur Pak Hasan (Yang lupa nama
Tukang Kluncing asal Mangir itu), sang Tukang Klucing sudah mengingatkan kepada
“Tamu VIP” yang ngerpen, karena memangku penari Gandrung. Sang pejabat lokal
dalam keadaan mabuk, tidak menggubris permintaan Tukang Kluncing. Sang Gandrung
dalam posisi ketakutan, juga tidak bisa berbuat banyak. Apalagi penonton dan
tuan rumah, juga dalam posisi yang sama (Baca: takut).
Merasa eksistensinya sebagai pemegan “Otoritas Tunggal” pementasan
Kesenian Gandrung sudah tidak berarti lagi, sang Tukang Kluncing yang dikenal
jenaka, serta latah ini, sontak meninggalkan pementasan. Tidak ada yang bisa
dijelaskan lagi, karena mereka yang diberi penjelasan tidak mau tahu dan tidak
ingin tahu. Setelah itulah, konon kesenian Gandrung ini pentas dalam kondisi
“ketakutan” dan memilih aman dan selamat. Mengingat jika melawan secara
langsung, bisa dibayangkan keselamatan jiwa dan keluarganya. Ancaman dan teror
khas Orde Baru, bisa dipastikan akan diterima. Setelah “Ngambul” itu. konon
Tukang Kluncing asal Mangir, Rogojampi ini tidak mau lagi pentas Gandrung, jika
kondisinya masih sama.
Ulah “Danramil” dan pejabat lokal yang bukan pemilik syah dari Tradisi
Using ini, tentu tidak sampai terdengar pejabat di atasnya. Kalau sampai
terdengar pun, bisa dipastikan tidak akan reaksi apa-apa. Mengingat setali tiga
uang, mereka berasal dari daerah yang sama. Tidak mengerti dan tidak mau
belajar, tentang budaya dan tradisi di daerah yang mereka pimpin. Padangan
“menyamakan” atau “gebyah-uyah” dengan kesenian serupa yang tumbuh dan
berkembang di luar Banyuwangi, adalah pangkal dari penyimpangan dan
penyelewengan itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kesenian Gandrung mulai dijauhi oleh
Ormas-ormas Islam di Banyuwangi. Bahkan sering, mereka menganjurkan agar ummat
Islam tidak melihat pertunjukan gandrung, ada juga yang mengharamkan. Padahal
dalam setiap pementasan Gandrung, selalu dibacakan doa-doa tentang keselamatan
yang menggunakan bahasa Arab. Dalam sesi poementasannya, ada juga yang
dinamakan Seblang Subuh, berisi tentang petuah dan ajara-ajaran tentang moral
dan kebaikan. Pementasan Gandrung selalu dimulai setelah Sholat Isya, serta
diakhiri menjelang waktu sholat subuh……